Candi Muara Takus

>> Rabu, 15 April 2009

Menikmati sejarah tanpa melihat dengan mata kepala sendikri, tentunya belum cukup. Kalau kita ingat dengan sejarah bahwa bangsa Indonesia mengalami zaman emas kejayaannya sebanyak 3 zaman yakni, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan negara kesatuan Indonesia I, Kerajaan Majapahit sebagai negara kesatuan II, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kesatuan III.

Lupakan dulu kerajaan Majapahit dan NKRI yang telah disepakati sejarah serta lokasinya. Walaupun banyak para peneliti dan ahli sejarah dari berbagai negara terus menggali dimana sebetulnya pusat kerajaan Sriwijaya, sydah sepantasnya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia mengaminkan bajwa pusat Kerajaan Sriwijaya ada di beberapa titik wilayah Sumatera, salah satunya di Candi Muara Takus yang terletak di Desa Muara Takus, kecamatan XIII Koto Kampar. Walaupun masuk dalam Provinsi Riau, jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Sementara dari Kota Payakumbuh, Sumbar hanya berjarak 5o kilometer dengan waktu tempu 1,5 damapai 2 jam perjalanan. Pilihan yang tepat setelah menikmati Lembah Harau atau wisata lainnya di Payakumbuh dan Lima Puluh Kota, di komplek candi yang berpusat di desa Muara Takus kita akan disuguhi sisa-sisa kerajaan Sriwijaya.

Komplek candi dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter. Di luar arealnya terdapat pula tembok berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi komplek ini sampai ke pinggir Sungai Kampar. Di dalam komplek ini terdapat pula bangunan candi Tua, candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Di sini akan kita temukan bangunan candi yang terbuat dari tanah liat dan tanah pasir.

Menurut para ahli bahan yang digunakan di candi ini lebih tua metodenya dibandingkan dengan candi yang ada di Jawa yang menggunakan batu dari pegunungan. Jika terus mengikuti sejarah pembuatan candi, diketahui bahan pembuatan candi diambil dari desa Pongkai yang terletak lebih kurang 6 kilometer dari candi. Nama Pongkai berasal dari kata Cina “Pong” berarti lobang dan “Kai” berarti tanah. Maksudnya lubang tanah yang diakibatkan oleh penggalian untuk pembuatan candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian tersebut tidak dapat kita temukan lagi karena sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang di perbatasan Sumbar-Riau.

Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang dihormati penduduk. Sebab, untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara bareanting dari tagan ke tangan. Walaupun cerita ini belum pasti kebenarannya, gambaran ini menunjukkan bahwa pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong.

Selain Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam komplek juga ditemui gundukan yang diperkirakan tempat pembakaran tulang manusia. Di luar komplek ini terdapat pula bangunan-bangunan bekas yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

Candi yang tergolong Budhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Budha berkembang di kawasan ini beberapa abad silam. Kendati kemudian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada pendapat yang mengatakan abad ke-11, ada yang mengatakan abad ke-4, abad ke-7, abad ke-9 dan sebagainya.

Namun yang jelas terlepas dari perdebatan kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam yang dibangun dengan gotong royong. Perdebatan yang beredar, orang Thailand mengatakan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Siam (Pattani-Pattaya), Thailand Selatan. Sementara orang Vietnam mengatakan pusat kerajaan Sriwijaya berada di Teluk Tonkin, dan diantaranya sejarahwan Malaysia berpendapat bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada di Kedah.

Sementara peneliti Birma mengatakan pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Yangoon. Saling adu pendapat, saling adu argumen sambil saling tunjuk bukti, tapi bukti terkuat yang mereka temukan hanyalah menhir, pundan berundak-undak, prasasti, arca atau artifak lainnya, tidak ada bukti kuat dari itu, termasuk bukti yang megatakan Palembang atau Jambi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya.

Sejauh ini, semua asumsi tersebut patut kita ragukan dan kita pertanyakan. Buku sejarah yang telah terlanjur mengatakan itu, dan lebih parah lagi kita sebagai generasi penerus terlanjur . mengaminkannya panjang-panjang. Tidak seharusnya kita kehilangan jejak untuk menemukan jati diri kita bukan. Kenapa tidak kita hargai saja peninggalan sejarah dengan cita rasa gotong royong ini.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP